Thursday, August 2, 2012

InsyaAllah

"Karena Allah Maha-Mengetahui mana yang paling baik untuk umat-Nya."

Wednesday, August 1, 2012

Teman Curhat Paling Baik Yang Pernah Ada

Assalamu'alaikum.

Kamu pernah curhat? Kalau iya, ke siapa? Teman, sahabat, pacar, atau orang tua? Ya, mereka mungkin orang-orang yang paling sering kamu tumpahi masalah dan keluhanmu. Juga yang sering keciptratan bahagia dan rasa senangmu. Tapi kamu tahu tidak, ada yang lebih, jauh lebih suka mendengarkanmu membicarakan segala keluh-kesah dan kebahagiaanmu ketimbang mereka?

Ya benar. Jawabannya adalah Allah Subhanahuwata'ala.

Kalau kamu curhat dengan temanmu, apa jawaban yang kamu dapat dari mereka? Mungkin bentuk-bentuknya adalah semacam consoling, tepukan di pundakmu diiringi kata-kata 'sabar ya,' saat kamu sedih atau 'aku turut senang,' saat kamu berbahagia.

Curhat dengan sahabat dan pacar, mungkin akan terasa lebih intimate dengan bumbu rahasia yang setingkat lebih tinggi dari curhat dengan teman. Yah, mereka orang yang spesial untukmu dan selalu memberimu support kapanpun kamu membutuhkan. Dan yang kamu bisa dapat dari mereka tidak hanya tepukan dan kata-kata manis pertanda mendengar, tapi sebuah pelukan hangat dan tips-tips agar kamu menjadi lebih baik.

Sementara curhat ke orang tua, ini jauh lebih dalam lagi. Kamu bisa mengatakan apa saja dengan konsekuensi membuat hati mereka bahagia atau sebaliknya, menyakiti mereka. Karena kamu selamanya di mata mereka adalah anak mereka, meski usiamu sudah tidak pantas disebut anak-anak lagi. Mereka yang dititipi oleh Allah SWT atasmu. Memiliki tanggung jawab membesarkanmu. Curhat ke mereka adalah satu jalan menenangkan, karena kamu akan dimandikan dengan segala wejangan kebaikan karena mereka mengerti kamu dan mungkin pernah mengalami hal yang sama, dulu sekali, saat seusiamu. Lalu mereka akan memelukmu, memberikanmu ketenangan, mencium keningmu, lalu membiarkanmu melangkah lagi sambil menekankan pada diri mereka bahwa kamu sudah cukup dewasa untuk membuat pilihan atas kehidupan yang kamu jalani.

Tapi curhat pada Allah SWT, ceritanya lain lagi.

Jujur saja aku bukanlah orang yang dekat dengan-Nya. Aku menjauhi-Nya, melanggar larangan-Nya, tidak mematuhi perintah-Nya, melalaikan kewajiban-kewajiban yang seharusnya kujalankan atas nama-Nya. Akulah yang menjauh, dan akulah yang tidak berkeinginan mendekat pada-Nya. Aku mungkin berpenampilan tertutup, dengan hijab menutupi helaian rambutku. Tapi aku bukanlah orang yang begitu saja suci. Pakaianku terkadang masih tidak sempurna menutup aurat. Masih membentuk siluet tubuhku. Yang ini mungkin agak susah kuubah, tapi aku yakin pasti bisa kuperbaiki suatu hari nanti. Begitu juga dengan ahlak yang gagal aku bangun sebelum hari ini.

Aku tidak begitu saja menjadi bersih. Tidak begitu saja dosaku diampuni. Tapi aku tahu inilah saatnya aku berusaha lagi, mendekat pada-Nya sekali lagi, menjadi hamba-Nya selagi kesempatan masih Ia beri. Maka dengan segala kesesakan di ulu hatiku, aku menghadap-Nya. Dan pada ayat pertama Al-Fatihah yang kubaca, air mataku membanjir tanpa kusadari. Kutarik nafasku pelan, menenangkan diri. Saat itulah aku memahami makna 'Alhamdulillahirrobbil aalamin'. Aku mensyukuri dengan sungguh-sungguh segala yang Ia berikan dalam hidupku, dan menjanjikan untuk meniatkan segala yang kulakukan hanya untuk-Nya.

Selepas tahiyat akhir dan salam, aku termenung. Mencoba menenangkan diriku setenang-tenangnya, mengosongkan pikiranku dan menjernihkan nuraniku, baru aku berani menengadahkan tangan. Mensyukuri semua nikmat yang diberikan dan membuka semua uneg-uneg yang memberatkan. Karena Ia Maha-Mendengar, tak sepatahpun kata kuucapkan besar-besar. Tak perlu orang lain tahu isi pembicaraanku dengan-Nya. Lalu topik demi topik mengalir, beriringan dengan tetes demi tetes air yang menghangat di pipi.

Aku akhirnya berbicara lagi pada-Nya.

Dzat yang mengindahkan kehidupanku dengan segala kuasa dan cobaan-Nya. Yang dengan begitu elegan mengingatkanku untuk menemui-Nya, berbicara pada-Nya, meminta ampunan serta petunjuk-Nya. Aku diam, Ia juga tak bersuara. Tapi aku tahu kami heboh jauh di dalam lubuk hatiku. Ruangan yang hening sedemikian kontrasnya dengan segala kata-kata yang beruntun keluar di dalam pikiranku. Ia Maha-Mendengar, Maha-Tahu. Ia pasti mengerti maksudku, meski mungkin kalimat yang kugunakan tidak sesempurna penyair abad pertengahan. Aku tahu Ia tak butuh itu. Ia hanya ingin aku bicara pada-Nya, menemui-Nya setelah absen sekian lama.

Sungguh Allah SWT membuatku begitu tenang, begitu ringan, begitu bahagia dan lega. Ia seolah mengingatkanku bahwa aku tak akan pernah sendirian. Ia selalu ada untuk mendengarkanku berkeluh kesah, meminta rahmat serta ampunan-Nya. Ia masih di sana kapanpun aku ingin curhat pada-Nya. Tidak pernah temanku, sahabatku, kekasihku, bahkan orang tuaku, menenangkanku hingga jauh ke lubuk hati. Hingga tubuhku terasa seringan kapas. Mungkin kamu mengira kelegaanku datang karena aku mengeluarkannya lewat tangisan. Tidak. Tangisan itu keluar justru karena aku membicarakan seluruh pemikiranku pada-Nya. Tangisan itu keluar begitu saja tanpa bisa kutahan. Dan memang tidak perlu kutahan, mengingat hanya ada aku dan Ia yang tengah mendengarkanku.

Subhanallah.

Allah sungguh Maha-Besar. Allahuakbar. Sesungguhnya Ia adalah tempat bercerita paling baik yang pernah ada. Rugilah kamu bila tidak pernah memanfaatkan waktu habis sholatmu untuk berlama-lama bercerita pada-Nya. Meminta ampunan dan petunjuk-Nya. Berterima kasih pada-Nya. Kamu mungkin berdoa setiap waktu. Ya, Ia mendengarmu setiap waktu. Tapi sungguh sesaat setelah kamu melaksanakan kewajiban sholatmu, menyebut asma-Nya dan bertasbih pada-Nya, itulah saat terbaik untuk bicara pada-Nya. Karena saat itu kamu akan merasa memiliki-Nya, sebagaimana Ia memilikimu. Saat itu kamu akan merasa Ia mengerti dirimu luar dalam. Ia tahu kamu, masa lalumu, juga masa depanmu. Ia tahu lahirmu, hidupmu, juga matimu. Ia-lah yang paling mengerti dirimu, paling, paling mengerti dirimu.

Sungguh aku menyarankan, wahai sahabat-sahabatku yang telah baik meluangkan sedikit waktu untuk membaca tulisanku. Menghadaplah pada-Nya. Bicaralah pada-Nya. Sungguh Ia Maha-Pengasih lagi Maha-Penyayang. Maha-Memberi dan Maha-Mengetahui. Yakinlah Ia pasti memberimu jawaban. Entah itu 'ya' entah itu 'tidak sekarang' atau 'belum', Ia pasti akan memberimu jawaban terbaik. Ia akan memberimu apa yang sepantasnya kau dapat, kau pilih, dan kau jalani. Jadi, sahabat-sahabatku yang baik,

Sudahkah kau curhat pada Allah Subhanahuwata'ala hari ini? Ia pasti tengah menunggumu dan siap menyambutmu.

Wassalamu'alaikum.

Tuesday, July 24, 2012

Been a While

I'm in shock.

No, it's not that simple to say but, still. I'm in shock. Like shock, shock. It's already Ramadhan and it's my 5th day fasting. 25 to go. But no, this post won't have anything related to this holy month. It's about me, and the shock that still frightened me.

I feel like I need to tightened my grab.

I know that it'll be pretty risky since there's no one who wants to be grabbed tightly. You see, I'm the type who actually don't really care. But things, again, are not as simple as that. This is my first encounter of such kind of fanatism--something I never know was really exist. May be because all the relationships I involved in are with some average guys. Okay sorry to say but, hey, you guys really are just average. #slapped

Now yes, you can feel the heat already. It's indeed about my current relationship. And since people aren't really bothered to read my blog, I'll just post it here and hopefully you guys would just think that this is just another ordinary post--except it's written in (a-gramatically-poor) English.

I'd like to openly state that I feel a little bit insecure.

Since I'm not pretty, I don't have a good grade, I'm just an ordinary girl trapped in a petite yet not so good looking frame. Those achievements I made are completely sealed in my past, and people hate their past. So now I really am just a super, duper, really just another girl who (finally) has a little touch of luck.

I really want to be something, so that I'll not just be a burden who depends on luck. But my lack of movements are inversely match with my desires. I even rarely complete those short stories I made. I love to write but I hate to end it. It's somehow being another big burden for me since I only love the start and have no intention to make an end. And yes, it's not good, since there must always be an end.

I want to be something, so that I'll be, at least, a suited partner who is worth to have.

Since, well, this is the first time I have such a great figure as a partner. He can do anything and lacks of flaw. Things usually only I could do between me and my partner now are reversed. And that's just how things started to get complicated. Since he's so good at almost everything he does, even I do. I really want to set my mind to be more positive, since those are things I should be proud of. But still, may be because I always set myself as the alpha who can do anything for both of us to make things easier and well balanced. Now that I don't need to do that anymore, come to think of it, I feel a little bit empty and bitter.

I usually depend on my partners while silently make them depend on me. But now, I feel like he doesn't really need me. He can do anything that I can, so he doesn't really need any help. That's just how I ended up thinking that I might just be a burden to him. All I can do averagely are his specialities, so he doesn't need any help. Or is it because I just want to be involved with things he does? May be, but I know exactly that I might just be a real burden to him if I do so.

And the thing is, I recently found a Tumblr dedicated to my current partner. And that's how I started to feel more and more insecure, since he actually has that kind of fan (and didn't realize it until I actually told him). It's something to be proud of but, you know, drama~ I feel more and more insecure by days. Really, guys, what should I do?

I started to lose my confidence.

Tuesday, May 22, 2012

Saturday, April 7, 2012

Aaa, That's Why

"Kan kita rusuk yang ilang, jadinya pas gitu rasanya kalo dipeluk." - Kia Unnie

You and Me :*





아저씨, 사랑해~
(c) Chibi by 아저씨

Telepon Umum dan Dirinya


Telepon umum.

Dipandanginya.

Lagi.

Lalu pergi.
_____

Telepon umum yang sama.

Masih dipandanginya.

Lagi.

Dan lagi-lagi, hanya untuk ditinggalkan kemudian.
_____

Telepon umum, masih yang sama, keesokan hari lagi.

Dan ia masih memandanginya sembari lewat.

Lagi.

Lalu meninggalkannya lagi kemudian, setelah lengosan.
_____

Telepon umum itu lagi. Kalau dia wanita, pasti sudah mulai merasa dirinya diikuti stalker.
Dan ialah stalker itu, yang tak berani mendekat meski menghentikan langkahnya tepat di depan pintu telepon umum yang selalu terbuka.

Lagi.

Dan telepon umum itu mulai hafal, selanjutnya ia hanya akan melengos, lalu meninggalkan tempat itu lagi. Hanya untuk kembali di hari berikutnya. Ya, lagi. Seperti biasanya.
_____

Lihat sendiri kan? Kalau diajak taruhan seseorang apakah stalker-nya masih ada atau tidak, ia pasti menang karena menjawab 'masih'. Lihatlah sendiri buktinya.

Ia lagi, masih menghentikan langkah tepat di depan pintu telepon umum yang memang terbuka untuk umum, meski orang-orang di sekelilingnya sibuk melangkah ke tujuan masing-masing. Tanpa berhenti seperti dirinya, yang masih akan tetap melengos, semakin hari semakin dalam, sebelum kemudian beranjak dengan bahu turun. Lesu.

Lagi.

Mungkin telepon umum akan bisa menyombongkan diri pada teman-temannya sesama telepon umum, bahwa ia adalah telepon umum pertama yang memiliki apa yang manusia sebut dengan penggemar rahasia. Keren.
_____

Bagus! Telepon umum berhasil menang taruhan dikencingi anjing melawan pohon beringin sebelah. Terbukti hari ini yang disebut-sebut sebagai penggemar rahasia sang telepon umum, sekali lagi, datang hanya untuk berdiri.

Ia masih berdiri di depan pintu telepon umum, membuat telepon umum ingin terbahak di depan muka si beringin yang yakin ia pasti bosan mendatangi si telepon umum. Salah, sama sekali salah. Kasihan beringin. Padahal dipipisi anjing adalah hal yang paling dibenci beringin. Yah, mungkin telepon umum harus berterima kasih padanya.

Lagi.

Karena kedatangannya setiap hari, yang hanya berdiri memandangi telepon umum dalam diam sebelum melengos dalan dan beranjak pergi telah menjadi hiburan sekaligus keseharian si telepon umum. Yah, istilah gaulnya sinetron stripping.
_____

Hari ini telepon umum taruhan dengan kotak pos ujung jalan, bahwa penggemarnya akan datang seperti biasa. Di jam yang sama, dengan baju yang sama, dengan gerak-gerik yang sama, dengan diri yang sama dan pandangan sama, menatap ke arah telepon umum penuh cinta.

Benar saja. Ia datang, memandang telepon umum yang bersiap menagih ke anjing liar komplek untuk pipis di kotak pos agar tukang pos yang datang harian akan jijik pada kotak itu. Ia berdiri, dalam diam dan bahu turun menatap pintu telepon umum yang terbuka lebar seolah (pada kenyataannya, memang) menyambutnya. Tapi ada satu hal yang berbeda. Mungkin agar telepon umum tidak taruhan lagi.

Tidak lagi.

Telepon umum hanya bisa tertegun saat akhirnya ia masuk ke dalam kotak telepon umum dengan bahu yang terangkat dan pandangan lurus penuh motivasi diri, menutup pintu di belakangnya kemudian. Lengosan digantikan tarikan nafas yang bersifat menenangkan, dan mulutnya sibuk komat-kamit mengumpukan keberanian. Sebelum kemudian ia menarik selempar kertas bertuliskan digit-digit berbeda yang segera ia tekan di tombol telepon umum. Terdengar nada sambung.
_____

Sudah satu bulan sejak kejadian kemarin dan telepon umum tidak pernah melihatnya lagi.

Ia, yang entah sejak kapan menjadi keseharian telepon umum. Menjadi sinetron stripping dengan episode demi episode yang tak berjalan cerita. Sama setiap hari. Diulang setiap hari. Rutinitas setiap hari.

Tidak lagi.

Telepon umum yakin sudah, kejadian kemarin itu adalah puncak dari penderitaan dirinya. Sudah nyaris sebulan juga ia memandangi telepon umum hingga wajahnya bisa dihafal. Dan sekarang ketiadaannya adalah bukti positif, bahwa ia tak akan pernah lagi kembali karena telepon umum adalah saksi kunci yang akan membawanya ke masa lalu yang lebih baik dilupakan. Selamanya.
_____

"Halo?"

"Ha-ha-halo."

"Siapa ini?"

"U-uhh, ini De-Desti?"

"Iya benar. Saya bicara dengan siapa?"

"Sa-saya ingin jadi pacar Desti."

"Haa?"

"Saya su-sudah melihat Desti sejak lama. Su-sudah ingin mengenal sejak lama. Sudah me-mengumpulkan keberanian sejak lama untuk--"

"Sinting ya?"

"De-Desti?"

"Siapapun elo, gue ga akan mau jadian ama elo. Dasar sakit lo!"
_____

Telepon umum miris. Masih membekas dalam ingatan telepon umum betapa ia tak mampu berucap lagi setelah sambungan diputus. Ia terduduk, sesaat tak bisa melakukan apapun saking syoknya. Dan kemudian apa yang ditakutkan terjadilah.

Tangisan seperti bayi di tubuh raksasa terdengar. Tak tanggung-tanggung ia meraung pilu sembari menempelkan tubuhnya di dinding telepon umum. Ia menjerit, menjerit hingga semua orang melirik. Ia menangis, menangis hingga semua orang berjengit. Ia ingin mati saat itu juga.

Lagi.

Dan yah, telepon umum bisa apa untuk menghalanginya bergerak menuju rel kereta api tak jauh dari mereka, melintasi perbatasan saat bunyi lonceng terdengar dan merelakan tubuhnya dihempas bersama gerakan maha cepat dari kereta api. Keindahan dalam merah menciprat karya seni itu, dan selesailah sudah.

Tak akan pernah, tak kan lagi pernah, telepon umum menemukan orang yang memiliki keinginan begitu kuat namun tak berkemampuan untuk mewujudkan. Yah, seperti dirinya, yang tak akan lagi mencoba mengagumi seseorang dalam hening di akhirat nanti. Menyedihkan.

Thursday, February 2, 2012

Janji


Jadi dia sudah tidak ada?

Kalau saja kata-kata itu terucap, ya. Yang jadi masalah, lidahku masih kelu meskipun otak telah memerintah. Terlalu syok, bisa dibilang begitu. Mungkin penampilanku saat ini terlihat sangat konyol--penuh keringat, dengan pakaian rapi khas seseorang yang baru menyelesaikan kelasnya di kampus dan langsung melarikan dirinya sendiri ke tempat yang disebut oleh seseorang di balik telepon. Informasi yang salah tempat.

Jujur aku masih lelah--hari ini ada tiga kelas yang masing-masing memakan tiga SKS. Artinya aku sudah berada di kampus dari pagi sampai sore. Tapi telepon yang aku terima barusan tak bisa diabaikan. Sama sekali tak bisa, bahkan membuatku berlari meski tenaga tidak kumiliki karena belum diganti makan siang. Sebagai lelaki aku masih punya cadangan tenaga kan? Masa cengeng?

Tapi terlambat.

Secepat apapun kakiku berlari, angin tetap tak akan tertangkap. Sama seperti sang penyabut nyawa.

Kenapa?

_____

"Aku benci kamu, tahu?"

"Tahu."

"Terus kenapa kamu masih di sini?"

"Karena aku suka kamu, tahu?"

"..."

Dia tidak menjawab, membuat senyum kemenangan terhadir di bibirku. Yah, bagaimanapun juga aku terlalu tampan untuk ditolak terus, kan? Hahaha.

Ia melengos sambil mendorong laptopnya, terlihat sebal dengan pertanyaan balasanku barusan. Aku sendiri nyengir, membiarkannya melipat dua lengan di depan dada. "Kenapa sih kamu ngotot sekali?"

Aku angkat bahu. "Karena kamu juga ngotot."

Dua alisnya mengkerut. "Terus kenapa aku?"

Kali ini ganti aku yang melengos. Sudah berapa kali aku mendapat pertanyaan ini, masalahnya. "Karena kamu itu kamu, Anya."

"Itu kamu tahu," gadis itu memandangku sebal. Dibereskannya buku-buku di atas meja sebelum ia beranjak, kesal. "Aku cuma aku, Arza. Carilah perempuan lain."

_____

Kutatap pintu yang kini terbuka. Beberapa temannya yang kukenal berurai air mata. Aku tak bisa berkata apa-apa saat Ryan, pacar dari salah satu kawannya sekaligus teman baikku, menepuk pundakku iba.

"Sabar ya, Za."

Sabar?

Sabar kepalamu.

"Padahal... padahal tadi pagi dia ga apa-apa," kekasih Ryan, Yasmin, kembali terisak sebelum bahunya ditepuk-tepuk Ryan. Aku terdiam. Ya, aku tahu pasti dia tadi pagi tidak kenapa-kenapa. Tadi pagi dia masih ada, masih bersamaku, masih melempar senyum padaku. Tapi sekarang, katanya dia sudah tidak ada? Tidak ada bagaimana?

Aku memandang lurus pintu yang tadi mereka lewati, tatapanku kosong. Berharap tiba-tiba dia keluar dan bilang, 'surprise!' seperti saat ulang tahunku minggu lalu. Tapi tak ada apa-apa, tak ada sosoknya yang penuh senyum menyambutku dalam peluk. Hanya ada beberapa sosok suster dan perawat laki-laki (aku tak tahu apa sebutannya) yang mendorong sebuah tempat tidur dengan sosok tertutup kain putih sampai kepala terbaring di atasnya. Orang yang selamanya tak akan pernah kembali.

Dan kali ini aku yang gantian merasa lemas. Lemas sampai kakiku tak bisa diajak berkompromi. Aku terduduk di tempat kemudian, menimbulkan bunyi debam menyakitkan. Ryan yang ada di sebelahku buru-buru mendudukkan dirinya, memasang wajah khawatir. Kontradiksi, Yasmin menangis makin keras.

____

"Apa? Anya--Anya kenapa?"

"Anya tadi pingsan, Za! Kamu buruan ke sana, cepat!"

Aku panik. Yasmin yang memberi tahuku tampak jauh lebih panik. Cepat-cepat kuraih tasku yang lumayan berat, separuh menyesal kenapa aku harus meminjam lima buku sekaligus dari perpustakaan hari ini. Tapi bagai kesetanan, aku berlari menuju tempat yang Yasmin tunjukkan. Ruang K-5. Sebenarnya cukup aneh, kenapa Anya bisa pingsan di ruangan yang biasanya terkunci rapat itu. Apa mungkin dia tidak sengaja melihat hantu? Bodoh, padahal selain penakut, badannya lemah.

Tak kupedulikan sekitarku saat aku berlari naik ke lantai dua, tempat ruang kelas itu berada. Kepalaku pusing, telingaku berdenging dan meski tenagaku rasanya tiba-tiba terkuras, kakiku masih kupaksa melangkah tanpa mengurangi sedikitpun kecepatannya.

Tidak terlihat seorangpun yang kukenal saat aku tiba di lantai dua. Lorong yang dipagari oleh kelas-kelas tampak begitu kosong. Padahal kelas terakhir seharusnya baru berakhir. Bahkan Yasmin saja sudah berlari-lari begitu. Kusesali pilihanku untuk bolos kelas barusan hanya karena aku takut dijahili. Ya, menurut kalender di atas mejaku, hari ini--

"Surprise!"

--aku berulang tahun.

"H-ha?"

Lantunan lagu Happy Birthday terdengar diiringi tepukan riuh rendah. Tapi telingaku tak mampu menangkap suara apapun seiring dengan mataku yang terpaku. Di hadapanku seorang bidadari tengah tersenyum, dan momen berikutnya kurasakan jantungku yang sempat berhenti kembali berdetak. Sangat cepat.

"Happy birthday apanya? APANYA HAH? SIALAN KALIAN! HAMPIR AJA JANTUNGKU COPOT, TAHU?"

Dan tempat itu mendadak hening.

Aku nyengir lebar kemudian. "Ya sudah. Mana sini kadonya?"

____

"Za, berdiri Za."

Gimana bisa berdiri?

"Arza jangan beginiiiiiii."

Jangan begini apanya?

Yah, pada saat seperti ini, sempat-sempatnya aku berpikir serius terhadap omongan mereka. Pintar sekali sih. Kupegang kepalaku yang mulai terasa semakin berat sebelum kusadari pandanganku sudah mulai berkunang-kunang. Lihat sendiri kan, apa yang kutakutkan sekarang jadi kenyataan. Apa yang selama ini kuanggap candaan berbahaya, menjadi seriusan berbahaya pada diriku sendiri.

"Hei," kata-kata pertama yang keluar dari bibirku adalah panggilan terhadap mereka berdua. Buru-buru Ryan memegang pundakku. Matanya memandang iba.

"Ya? Kenapa Za?"

"Mana Anya?"

Pertanyaan singkatku kembali membuat tangis Yasmin pecah. Padahal mata gadis itu bengkak sempurna, menunjukkan bahwa setidaknya dia sudah menangis sejak lima belas menit yang lalu tanpa henti. Oke, aku mulai terdengar menyedihkan. Tapi tetap saja aku tak peduli. Saat seperti ini aku mana bisa peduli.

"Arza, Anya udah--"

"Mana Anya?"

"Arza...."

"ANYA MANA ANYA?"

Cepat aku berdiri, menyingkirkan tangan Ryan yang masih ada di bahuku. kularikan langkah menyusul tempat tidur yang belum jauh dan membuka jalan untukku sendiri, tepat di sebelah kepalanya yang tertutup kain putih. Kusibak benda itu jauh-jauh, dan kulihat wajahnya. Putih bersih. Memejam sempurna. Bibirnya mengatup, tanpa sedikitpun senyum. Dan tak akan pernah lagi tersenyum.

Anya.

"Hei," kutepuk-tepuk pipinya, membuat salah satu perawat laki-laki bereaksi. Segera dia memarahiku tapi tak kupedulikan. Sekali lagi kupukul pipinya, kali ini dengan kedua tanganku. "Anya, bangun Nya!" Panggilku putus asa. Tapi tetap tak ada jawaban. Di sisi lain lorong, tangisan Yasmin yang tadi pecah lagi kini membesar, nyaris menyerupai raungan. Tapi aku tuli--menulikan telingaku sendiri.

"Maaf Mas, tapi--"

"Anya kamu ga boleh mati! Kamu ga boleh ninggalin aku! Kamu sudah janji, Anya! Kamu sudah janji!"

Tidak ada lagi kalimat yang bisa kuucapkan. Lidahku kembali kelu. Sisa kata-kata yang tersimpan di otak dan hatiku kini diucapkan dalam bentuk lain. Air mata.

Padahal kamu sudah berjanji padaku. Lupakah?

____

"Oke, oke, kita jadian. Puas?"

Aku mengerjap tak percaya. Setelah berkali-kali pernyataan cintaku ditolak oleh gadis di hadapanku ini, akhirnya aku diterima juga. Kalau saja aku bisa salto, aku akan melakukannya sambil lari keliling lapangan sepuluh kali dan berteriak-teriak. Sayang selain aku tidak bisa salto, energiku mana cukup untuk melakukan hal konyol seperti itu. Lagipula, tidak nyambung. "Serius nih?" Tanyaku tak percaya. Pandanganku berbinar.

"Tapi," Anya memandangku sinis sambil dua tangannya masih terlipat di depan dada. "Janji padaku satu hal."

"Apapun itu," sahutku yakin. Apapun kondisinya, kebahagiaanku saat ini tak sebanding dengan apapun. Dan sekadar berjanji--bah, tidak sebanding. Silakan buat aku berjanji bahkan untuk membelikan sebongkah berlian. Dengan cara apapun juga akan kubelikan.

"Janji ya, Arzadika. Kamu tidak akan meninggalkan aku."

...

Itu saja?

Senyumku terkembang. Kutarik siku kanannya dan kutangkap telapaknya, menggenggamnya erat-erat kemudian. "Aku janji. Kamu juga, Tarrania, janji jangan pernah tinggalkan aku."

Hening sesaat.

"Anya?"

"...aku janji."

_____

Ya, kamu janji.

Dan salahku pura-pura tidak menyadari bahwa di balik punggungmu, dua jari tersilang. Janjimu sudah kau patahkan sejak awal. Tapi aku membohongi diriku sendiri, meyakinkan diri bahwa janjimu pasti kamu tepati.

Anya, kamu dengar aku?

Aku patah hati--lagi.

_______________________

Cerpen lawas ahaha. Akhirnya waktunya sudah tepat untuk mem-publish cerpen ini. Well, dedicated buat semua yang pernah berjanji, pernah menjanjikan, berusaha menepati, ataupun yang menyerah dan mematahkan. Sebelum terlambat, lebih baik janjinya ditepati ^^

Ditunggu komentarnya :)