Thursday, February 2, 2012

Janji


Jadi dia sudah tidak ada?

Kalau saja kata-kata itu terucap, ya. Yang jadi masalah, lidahku masih kelu meskipun otak telah memerintah. Terlalu syok, bisa dibilang begitu. Mungkin penampilanku saat ini terlihat sangat konyol--penuh keringat, dengan pakaian rapi khas seseorang yang baru menyelesaikan kelasnya di kampus dan langsung melarikan dirinya sendiri ke tempat yang disebut oleh seseorang di balik telepon. Informasi yang salah tempat.

Jujur aku masih lelah--hari ini ada tiga kelas yang masing-masing memakan tiga SKS. Artinya aku sudah berada di kampus dari pagi sampai sore. Tapi telepon yang aku terima barusan tak bisa diabaikan. Sama sekali tak bisa, bahkan membuatku berlari meski tenaga tidak kumiliki karena belum diganti makan siang. Sebagai lelaki aku masih punya cadangan tenaga kan? Masa cengeng?

Tapi terlambat.

Secepat apapun kakiku berlari, angin tetap tak akan tertangkap. Sama seperti sang penyabut nyawa.

Kenapa?

_____

"Aku benci kamu, tahu?"

"Tahu."

"Terus kenapa kamu masih di sini?"

"Karena aku suka kamu, tahu?"

"..."

Dia tidak menjawab, membuat senyum kemenangan terhadir di bibirku. Yah, bagaimanapun juga aku terlalu tampan untuk ditolak terus, kan? Hahaha.

Ia melengos sambil mendorong laptopnya, terlihat sebal dengan pertanyaan balasanku barusan. Aku sendiri nyengir, membiarkannya melipat dua lengan di depan dada. "Kenapa sih kamu ngotot sekali?"

Aku angkat bahu. "Karena kamu juga ngotot."

Dua alisnya mengkerut. "Terus kenapa aku?"

Kali ini ganti aku yang melengos. Sudah berapa kali aku mendapat pertanyaan ini, masalahnya. "Karena kamu itu kamu, Anya."

"Itu kamu tahu," gadis itu memandangku sebal. Dibereskannya buku-buku di atas meja sebelum ia beranjak, kesal. "Aku cuma aku, Arza. Carilah perempuan lain."

_____

Kutatap pintu yang kini terbuka. Beberapa temannya yang kukenal berurai air mata. Aku tak bisa berkata apa-apa saat Ryan, pacar dari salah satu kawannya sekaligus teman baikku, menepuk pundakku iba.

"Sabar ya, Za."

Sabar?

Sabar kepalamu.

"Padahal... padahal tadi pagi dia ga apa-apa," kekasih Ryan, Yasmin, kembali terisak sebelum bahunya ditepuk-tepuk Ryan. Aku terdiam. Ya, aku tahu pasti dia tadi pagi tidak kenapa-kenapa. Tadi pagi dia masih ada, masih bersamaku, masih melempar senyum padaku. Tapi sekarang, katanya dia sudah tidak ada? Tidak ada bagaimana?

Aku memandang lurus pintu yang tadi mereka lewati, tatapanku kosong. Berharap tiba-tiba dia keluar dan bilang, 'surprise!' seperti saat ulang tahunku minggu lalu. Tapi tak ada apa-apa, tak ada sosoknya yang penuh senyum menyambutku dalam peluk. Hanya ada beberapa sosok suster dan perawat laki-laki (aku tak tahu apa sebutannya) yang mendorong sebuah tempat tidur dengan sosok tertutup kain putih sampai kepala terbaring di atasnya. Orang yang selamanya tak akan pernah kembali.

Dan kali ini aku yang gantian merasa lemas. Lemas sampai kakiku tak bisa diajak berkompromi. Aku terduduk di tempat kemudian, menimbulkan bunyi debam menyakitkan. Ryan yang ada di sebelahku buru-buru mendudukkan dirinya, memasang wajah khawatir. Kontradiksi, Yasmin menangis makin keras.

____

"Apa? Anya--Anya kenapa?"

"Anya tadi pingsan, Za! Kamu buruan ke sana, cepat!"

Aku panik. Yasmin yang memberi tahuku tampak jauh lebih panik. Cepat-cepat kuraih tasku yang lumayan berat, separuh menyesal kenapa aku harus meminjam lima buku sekaligus dari perpustakaan hari ini. Tapi bagai kesetanan, aku berlari menuju tempat yang Yasmin tunjukkan. Ruang K-5. Sebenarnya cukup aneh, kenapa Anya bisa pingsan di ruangan yang biasanya terkunci rapat itu. Apa mungkin dia tidak sengaja melihat hantu? Bodoh, padahal selain penakut, badannya lemah.

Tak kupedulikan sekitarku saat aku berlari naik ke lantai dua, tempat ruang kelas itu berada. Kepalaku pusing, telingaku berdenging dan meski tenagaku rasanya tiba-tiba terkuras, kakiku masih kupaksa melangkah tanpa mengurangi sedikitpun kecepatannya.

Tidak terlihat seorangpun yang kukenal saat aku tiba di lantai dua. Lorong yang dipagari oleh kelas-kelas tampak begitu kosong. Padahal kelas terakhir seharusnya baru berakhir. Bahkan Yasmin saja sudah berlari-lari begitu. Kusesali pilihanku untuk bolos kelas barusan hanya karena aku takut dijahili. Ya, menurut kalender di atas mejaku, hari ini--

"Surprise!"

--aku berulang tahun.

"H-ha?"

Lantunan lagu Happy Birthday terdengar diiringi tepukan riuh rendah. Tapi telingaku tak mampu menangkap suara apapun seiring dengan mataku yang terpaku. Di hadapanku seorang bidadari tengah tersenyum, dan momen berikutnya kurasakan jantungku yang sempat berhenti kembali berdetak. Sangat cepat.

"Happy birthday apanya? APANYA HAH? SIALAN KALIAN! HAMPIR AJA JANTUNGKU COPOT, TAHU?"

Dan tempat itu mendadak hening.

Aku nyengir lebar kemudian. "Ya sudah. Mana sini kadonya?"

____

"Za, berdiri Za."

Gimana bisa berdiri?

"Arza jangan beginiiiiiii."

Jangan begini apanya?

Yah, pada saat seperti ini, sempat-sempatnya aku berpikir serius terhadap omongan mereka. Pintar sekali sih. Kupegang kepalaku yang mulai terasa semakin berat sebelum kusadari pandanganku sudah mulai berkunang-kunang. Lihat sendiri kan, apa yang kutakutkan sekarang jadi kenyataan. Apa yang selama ini kuanggap candaan berbahaya, menjadi seriusan berbahaya pada diriku sendiri.

"Hei," kata-kata pertama yang keluar dari bibirku adalah panggilan terhadap mereka berdua. Buru-buru Ryan memegang pundakku. Matanya memandang iba.

"Ya? Kenapa Za?"

"Mana Anya?"

Pertanyaan singkatku kembali membuat tangis Yasmin pecah. Padahal mata gadis itu bengkak sempurna, menunjukkan bahwa setidaknya dia sudah menangis sejak lima belas menit yang lalu tanpa henti. Oke, aku mulai terdengar menyedihkan. Tapi tetap saja aku tak peduli. Saat seperti ini aku mana bisa peduli.

"Arza, Anya udah--"

"Mana Anya?"

"Arza...."

"ANYA MANA ANYA?"

Cepat aku berdiri, menyingkirkan tangan Ryan yang masih ada di bahuku. kularikan langkah menyusul tempat tidur yang belum jauh dan membuka jalan untukku sendiri, tepat di sebelah kepalanya yang tertutup kain putih. Kusibak benda itu jauh-jauh, dan kulihat wajahnya. Putih bersih. Memejam sempurna. Bibirnya mengatup, tanpa sedikitpun senyum. Dan tak akan pernah lagi tersenyum.

Anya.

"Hei," kutepuk-tepuk pipinya, membuat salah satu perawat laki-laki bereaksi. Segera dia memarahiku tapi tak kupedulikan. Sekali lagi kupukul pipinya, kali ini dengan kedua tanganku. "Anya, bangun Nya!" Panggilku putus asa. Tapi tetap tak ada jawaban. Di sisi lain lorong, tangisan Yasmin yang tadi pecah lagi kini membesar, nyaris menyerupai raungan. Tapi aku tuli--menulikan telingaku sendiri.

"Maaf Mas, tapi--"

"Anya kamu ga boleh mati! Kamu ga boleh ninggalin aku! Kamu sudah janji, Anya! Kamu sudah janji!"

Tidak ada lagi kalimat yang bisa kuucapkan. Lidahku kembali kelu. Sisa kata-kata yang tersimpan di otak dan hatiku kini diucapkan dalam bentuk lain. Air mata.

Padahal kamu sudah berjanji padaku. Lupakah?

____

"Oke, oke, kita jadian. Puas?"

Aku mengerjap tak percaya. Setelah berkali-kali pernyataan cintaku ditolak oleh gadis di hadapanku ini, akhirnya aku diterima juga. Kalau saja aku bisa salto, aku akan melakukannya sambil lari keliling lapangan sepuluh kali dan berteriak-teriak. Sayang selain aku tidak bisa salto, energiku mana cukup untuk melakukan hal konyol seperti itu. Lagipula, tidak nyambung. "Serius nih?" Tanyaku tak percaya. Pandanganku berbinar.

"Tapi," Anya memandangku sinis sambil dua tangannya masih terlipat di depan dada. "Janji padaku satu hal."

"Apapun itu," sahutku yakin. Apapun kondisinya, kebahagiaanku saat ini tak sebanding dengan apapun. Dan sekadar berjanji--bah, tidak sebanding. Silakan buat aku berjanji bahkan untuk membelikan sebongkah berlian. Dengan cara apapun juga akan kubelikan.

"Janji ya, Arzadika. Kamu tidak akan meninggalkan aku."

...

Itu saja?

Senyumku terkembang. Kutarik siku kanannya dan kutangkap telapaknya, menggenggamnya erat-erat kemudian. "Aku janji. Kamu juga, Tarrania, janji jangan pernah tinggalkan aku."

Hening sesaat.

"Anya?"

"...aku janji."

_____

Ya, kamu janji.

Dan salahku pura-pura tidak menyadari bahwa di balik punggungmu, dua jari tersilang. Janjimu sudah kau patahkan sejak awal. Tapi aku membohongi diriku sendiri, meyakinkan diri bahwa janjimu pasti kamu tepati.

Anya, kamu dengar aku?

Aku patah hati--lagi.

_______________________

Cerpen lawas ahaha. Akhirnya waktunya sudah tepat untuk mem-publish cerpen ini. Well, dedicated buat semua yang pernah berjanji, pernah menjanjikan, berusaha menepati, ataupun yang menyerah dan mematahkan. Sebelum terlambat, lebih baik janjinya ditepati ^^

Ditunggu komentarnya :)