Gue seringkali menemukan bahwa beberapa orang memandang gue sebagai seorang pemimpi ulung (dan ini tolong jangan disingkat jadi pemulung). Setidaknya, dengan sifat dasar gue yang hanya menjadi pengoceh saat seseorang terlihat lebih lemah dalam satu bidang dari gue dan menjadi super duper cool (silakan tertawa) saat sesuatu menjadi jauh lebih pintar, lebih mengerti, terlalu mengerikan. I mean, alam nyata tak selamanya berpihak pada gue, dan itulah yang selalu berhasil membuat gue diam seribu bahasa. Entah kenapa gue memiliki kecenderungan membiarkan saja beberapa orang memberikan rule-rule tak jelas pada hidup gue, mengatur hampir setiap pergerakan gue, dan secara langsung atau tak langsung memanfaatkan gue.
Well, gue termasuk orang yang mudah dimanfaatkan sebagai pemimpi, oke?
Secara tak langsung, gue memiliki segudang pengetahuan yang hampir tak pernah dimiliki oleh manusia pada umumnya (yah, umum disini maksud gue adalah @L4y3rZ yang merasa dirinya cukup 9h4o3lz). Bagi mereka gue malah tampak terlalu kolot--hei, tunggu. Kenapa menulis dengan benar malah menjadi kolot? Kenapa penikmat sastra modern menjadi kuno? Kenapa kelebihan dalam berinteraksi di dunia maya menjadi alien? Itulah yang sampai sekarang ga bisa gue mengerti. Kenapa mata-mata itu memandang nyalang setiap kali gue menyalakan laptop, berjalan berputar-putar sudut demi sudut untuk menemukan secercah koneksi wireless?
Gue akui gue kadang melakukan hal itu pada waktu yang tidak tepat. Bahkan, gue harus say sorry karena gue menyebabkan sekelas mendapatkan kuis dadakan hanya karena gue kerajingan RPG-an. Tapi salahkah kalau gue mencari tempat bermain baru disaat tempat gue bermain di alam nyata tak tersedia?
Keinginan berbaur itu ada, Cherie. Hanya saja kalian tak memberikannya.
Pembicaraan kalian seputar kecantikan, senior yang tampan, nilai bagus berjejeran, tapi apakah kalian peduli pada kosakata, tanda baca, atau situs lain selain Facebook, hm? Tidak. Maka kalian tak memberikan gue tempat untuk bicara, berpendapat, membuat gue lebih baik sendirian, menikmati alunan lagu-lagu up-beat yang bagi kalian seorang berhijab tak pantas dengarkan. Hello? Sadarkah kalian hal itu terlalu mengkotak-kotakkan? Apel tidak langsung tumbuh berbuah lebat lima menit setelah kau tanam bijinya. Itu yang namanya langkah, kesabaran dalam menunggu hasil. Ada step demi step yang harus dilalui, dan kalian terlalu tidak sabaran untuk menunggu.
Sigh.
Itulah yang membuat gue mencurahkan diri dalam satu sisi, satu bidang yang menerima gue apa adanya. Tanpa melihat rupa dan kedudukan, tanpa melihat gue itu apa di mata kalian. Tempat dimana gue bisa jadi diri sendiri, tanpa harus disindir dari belakang. Tempat dimana gue bisa makan orang secara terang-terangan, dan pendapat gue diterima. Tidak kepada elo, kekecewaan, yang terus menghantui gue disaat gue butuh tempat. Coba lo pikir, harus ditaruh dimana muka gue saat temen curhat lo secara terang-terangan bilang kalo lo benci ama gue? Dan saat itu lo ketahuan, dan gue tahu. Kalau kaki gue ga kesemutan, Cherie, muka lo pasti bonyok gue tendang. Dan gue ga butuh cara lo mengambil hati, menempelkan pipi di pundak gue. Oh tolong. Itu memuakkan.
Apa yang salah dari gue, kalian selalu mempertanyakannya. Bagi gue, kesalahan satu-satunya yang ada dalam diri gue adalah, kenapa gue ditempatkan di antara orang-orang yang tidak bisa menerima gue apa adanya. Kesalahan paling fatal yang pernah mengisi otak gue dan memaksanya bekerja keras sehari penuh. Kesalahan paling fatal yang membuat gue berpikir, tak ada lagi tempat buat gue di alam nyata. Kesalahan paling fatal yang membuat gue berpikir, kalian cuma sampah. See? Siapa yang salah sekarang? Sebagian memang punya gue, dan itu harus gue akui. Selebihnya? Tolol kalau kalian masih belum menyadarinya.
High school never end bullshit. It's already end for me in the middle, FYI. Kenapa? Sudah jelas.
Itu karena kalian.
Dan kenapa kalau gue tidak menyimak pelajaran? Bukan berarti gue bodoh, toh. Kemana tampang kalian, orang-orang bernilai tinggi dalam tiap mata pelajaran? Orang-orang yang selalu gue repotkan, namun tanpa keikhlasan? Apa kabar kalian, hm? Sudah puas menertawakan gue, dan kalian sekarang bungkam? Apa salahnya gue menyimpan itu sendiri, mewanti-wanti diri sendiri agar tidak dianggap tinggi hati? Dan kalian mengeluarkan itu jadi rasa benci, menumbuhkan benih-benih kesombongan yang mengusir gue dari hidup, dari kelas gue sendiri. Kalau boleh memilih, gue lebih memilih pergi, bolos sekolah selamanya. Karena bagi gue sekolah adalah neraka.
Dan apa yang terjadi, hm? 'Kulemparkan kebaikan padamu karena aku butuh', begitu? Dan saat selesai berarti kau sudah tak dibutuhkan? Well, lo benar-benar membuat gue mengamuk. Alam bawah sadar gue yang mengamuk. Beruntung sisa-sisa hari di tempat itu berhasil gue lalui, menghantamkan tiap inci wajah kalian dengan kenyataan. Pahit, hm? Sesekali rasakanlah, sobat. Gue menang.
Hanya karena gue memiliki hubungan dekat dengan seseorang berkedudukan, yang pada akhirnya lo cerca saat kegagalan menghantam, bukan berarti gue senang. Gue melakukan segalanya dengan tangan sendiri, dan lo semua mengira gue curang. Well, hidup itu memang susah, Sobat. Tapi gue tekankan, kesusahan itu murni gue alami sendiri tanpa minta secuilpun bantuan hasutan pada sang pemilik kedudukan. Beliau selalu menekankan pada gue, lakukan itu dengan kemampuanmu sendiri. Dan hasilnya? Well, gue melakukan itu dengan kemampuan gue sendiri. Apakah lo ga pernah diajari oleh mereka yang juga memiliki kedudukan, hm? Poor you.
Dan lagi-lagi gue harus menekankan bahwa, well, gue memang adalah pekerja. Gue dan mereka adalah para pekerja, tapi tolong, sekali lagi hargailah. Bukan salah gue (atau Sang Pemilik Kedudukan yang berhubungan dekat dengan gue) kalau lo ga lulus. Jangan sembarangan menebar fitnah, mengesampingkan kenyataan bahwa lo sendiri yang kurang usaha. Lo harus tahu rasa malunya saat pihak ketiga-lah yang menyatakan complain, dan lo tidak memberikan setitikpun kabar pada gue. Jangan persalahkan Sang Pemilik--oh, well. Sudahlah. Bokap gue, karena lo ga lulus di universitas yang lo inginkan. Sana, urus dengan Unsri. Bokap gue hanya tahu memberikan tanda tangan.
Dan racauan ini kembali menyatakan secara tak langsung bahwa gue pemimpi ulung. Pemimpi ulung yang--pada akhirnya--merampungkan mimpinya, mengubahnya menjadi nyata. Dan sekali lagi menyatakan bahwa, oh great, lo kalah telak.
Bagaimana? Menjadi pemimpi itu menarik bukan?
Sigh. Ini apaan sih, yang gue tulis?
No comments:
Post a Comment