"Kan kita rusuk yang ilang, jadinya pas gitu rasanya kalo dipeluk." - Kia Unnie
Saturday, April 7, 2012
Telepon Umum dan Dirinya
Telepon umum.
Dipandanginya.
Lagi.
Lalu pergi.
_____
Telepon umum yang sama.
Masih dipandanginya.
Lagi.
Dan lagi-lagi, hanya untuk ditinggalkan kemudian.
_____
Telepon umum, masih yang sama, keesokan hari lagi.
Dan ia masih memandanginya sembari lewat.
Lagi.
Lalu meninggalkannya lagi kemudian, setelah lengosan.
_____
Telepon umum itu lagi. Kalau dia wanita, pasti sudah mulai merasa dirinya diikuti stalker.
Dan ialah stalker itu, yang tak berani mendekat meski menghentikan langkahnya tepat di depan pintu telepon umum yang selalu terbuka.
Lagi.
Dan telepon umum itu mulai hafal, selanjutnya ia hanya akan melengos, lalu meninggalkan tempat itu lagi. Hanya untuk kembali di hari berikutnya. Ya, lagi. Seperti biasanya.
_____
Lihat sendiri kan? Kalau diajak taruhan seseorang apakah stalker-nya masih ada atau tidak, ia pasti menang karena menjawab 'masih'. Lihatlah sendiri buktinya.
Ia lagi, masih menghentikan langkah tepat di depan pintu telepon umum yang memang terbuka untuk umum, meski orang-orang di sekelilingnya sibuk melangkah ke tujuan masing-masing. Tanpa berhenti seperti dirinya, yang masih akan tetap melengos, semakin hari semakin dalam, sebelum kemudian beranjak dengan bahu turun. Lesu.
Lagi.
Mungkin telepon umum akan bisa menyombongkan diri pada teman-temannya sesama telepon umum, bahwa ia adalah telepon umum pertama yang memiliki apa yang manusia sebut dengan penggemar rahasia. Keren.
_____
Bagus! Telepon umum berhasil menang taruhan dikencingi anjing melawan pohon beringin sebelah. Terbukti hari ini yang disebut-sebut sebagai penggemar rahasia sang telepon umum, sekali lagi, datang hanya untuk berdiri.
Ia masih berdiri di depan pintu telepon umum, membuat telepon umum ingin terbahak di depan muka si beringin yang yakin ia pasti bosan mendatangi si telepon umum. Salah, sama sekali salah. Kasihan beringin. Padahal dipipisi anjing adalah hal yang paling dibenci beringin. Yah, mungkin telepon umum harus berterima kasih padanya.
Lagi.
Karena kedatangannya setiap hari, yang hanya berdiri memandangi telepon umum dalam diam sebelum melengos dalan dan beranjak pergi telah menjadi hiburan sekaligus keseharian si telepon umum. Yah, istilah gaulnya sinetron stripping.
_____
Hari ini telepon umum taruhan dengan kotak pos ujung jalan, bahwa penggemarnya akan datang seperti biasa. Di jam yang sama, dengan baju yang sama, dengan gerak-gerik yang sama, dengan diri yang sama dan pandangan sama, menatap ke arah telepon umum penuh cinta.
Benar saja. Ia datang, memandang telepon umum yang bersiap menagih ke anjing liar komplek untuk pipis di kotak pos agar tukang pos yang datang harian akan jijik pada kotak itu. Ia berdiri, dalam diam dan bahu turun menatap pintu telepon umum yang terbuka lebar seolah (pada kenyataannya, memang) menyambutnya. Tapi ada satu hal yang berbeda. Mungkin agar telepon umum tidak taruhan lagi.
Tidak lagi.
Telepon umum hanya bisa tertegun saat akhirnya ia masuk ke dalam kotak telepon umum dengan bahu yang terangkat dan pandangan lurus penuh motivasi diri, menutup pintu di belakangnya kemudian. Lengosan digantikan tarikan nafas yang bersifat menenangkan, dan mulutnya sibuk komat-kamit mengumpukan keberanian. Sebelum kemudian ia menarik selempar kertas bertuliskan digit-digit berbeda yang segera ia tekan di tombol telepon umum. Terdengar nada sambung.
_____
Sudah satu bulan sejak kejadian kemarin dan telepon umum tidak pernah melihatnya lagi.
Ia, yang entah sejak kapan menjadi keseharian telepon umum. Menjadi sinetron stripping dengan episode demi episode yang tak berjalan cerita. Sama setiap hari. Diulang setiap hari. Rutinitas setiap hari.
Tidak lagi.
Telepon umum yakin sudah, kejadian kemarin itu adalah puncak dari penderitaan dirinya. Sudah nyaris sebulan juga ia memandangi telepon umum hingga wajahnya bisa dihafal. Dan sekarang ketiadaannya adalah bukti positif, bahwa ia tak akan pernah lagi kembali karena telepon umum adalah saksi kunci yang akan membawanya ke masa lalu yang lebih baik dilupakan. Selamanya.
_____
"Halo?"
"Ha-ha-halo."
"Siapa ini?"
"U-uhh, ini De-Desti?"
"Iya benar. Saya bicara dengan siapa?"
"Sa-saya ingin jadi pacar Desti."
"Haa?"
"Saya su-sudah melihat Desti sejak lama. Su-sudah ingin mengenal sejak lama. Sudah me-mengumpulkan keberanian sejak lama untuk--"
"Sinting ya?"
"De-Desti?"
"Siapapun elo, gue ga akan mau jadian ama elo. Dasar sakit lo!"
_____
Telepon umum miris. Masih membekas dalam ingatan telepon umum betapa ia tak mampu berucap lagi setelah sambungan diputus. Ia terduduk, sesaat tak bisa melakukan apapun saking syoknya. Dan kemudian apa yang ditakutkan terjadilah.
Tangisan seperti bayi di tubuh raksasa terdengar. Tak tanggung-tanggung ia meraung pilu sembari menempelkan tubuhnya di dinding telepon umum. Ia menjerit, menjerit hingga semua orang melirik. Ia menangis, menangis hingga semua orang berjengit. Ia ingin mati saat itu juga.
Lagi.
Dan yah, telepon umum bisa apa untuk menghalanginya bergerak menuju rel kereta api tak jauh dari mereka, melintasi perbatasan saat bunyi lonceng terdengar dan merelakan tubuhnya dihempas bersama gerakan maha cepat dari kereta api. Keindahan dalam merah menciprat karya seni itu, dan selesailah sudah.
Tak akan pernah, tak kan lagi pernah, telepon umum menemukan orang yang memiliki keinginan begitu kuat namun tak berkemampuan untuk mewujudkan. Yah, seperti dirinya, yang tak akan lagi mencoba mengagumi seseorang dalam hening di akhirat nanti. Menyedihkan.
Labels:
Cerpen,
Meracau,
Short Story
Subscribe to:
Posts (Atom)