Wednesday, June 17, 2009

One Odd

Ini FF yang gue buat sebagai kado ultah buat chara sulung gue, Azrael Hazzelnuts. Ngepostnya emang agak telat. Tapi ini gue selesaikan tanggal 11 Juni. Dan, err, ini FF pertama gue :D Jadi kalo jelek dan ga nyambung, maklumin deh :D

______________________

One Odd

Disclaimer: Azrael Saturnea Hazzelnuts, Timothy Anne-Marie Hazzelnuts, Rainare Nozomu McMoney punya gue. Aurora Lucia Mielonen punya PMnya.
Rate: Wah, gue ga jago ngerate :D
_______



"Kita punya banyak hal untuk didiskusikan."

"Misalnya?"

"Hmm? Kenapa kau menanyakan itu?"

"Kau bilang kita punya banyak hal untuk didiskusikan. Misalnya apa?"

"Ah, kukira kau sudah tahu, Princess."

"Hmm--apa?"

"Soal masa depan--oke, masa sekarang maksudku."

"Sekarang?"

"Yep. Gerbang menuju masa depan."

_________

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tu... euh....

Lebih dari tiga gadis berbaris di hadapannya. Rata-rata berusia belasan. Salah satu dari mereka tampaknya baru saja merusak tatanan rambutnya sendiri--terlihat dari sisa-sisa kelopak mawar malang yang kini berhamburan di lantai. Pria muda itu mengerling pada sosok wanita paruh baya yang masih tampak segar, memamerkan senyuman kecut. Wanita itu memelototinya tanpa ragu, bibirnya dikedut-kedutkan. Pria muda itu hanya tertawa kecil sambil menatap mahfum ke arah gadis yang kini sibuk menarik-narik tutu oranyenya, tak sabar. Gadis lain yang lebih kecil dan bermata sewarna dengan pria muda itu melengos pelan, menunjukkan ketidak sukaan abadi pada di gadis yang sudah berusia sembilan belas tahun itu.

Sang pria, masih dengan senyum mahfum, kini melangkah perlahan, mendekati si kecil yang telah dengan sukses memajukan bibirnya di atas lima senti. Tubuh jangkungnya yang sudah mencapai minus sepuluh senti dari dua meter itu kini berjongkok tenang. Telapak tangannya yang besar ia sentuhkan ke pipi tembam si kecil itu sembari menariknya menengadah. Mata biru itu menatap kembaran abadinya teduh, mengeluskan jemarinya. "Kau kenapa?"

Sepasang alis itu melunak perlahan, menunjukkan ketidak sukaan yang mulai menghilang. Bukan, dipaksakan menghilang lebih tepatnya. Tangan putih mungil dengan korsase bunga matahari melilit pergelangannya kini balas mengelus punggung tangan si pria muda. Seolah tahu apa keinginan gadis mungil itu, si pria muda dengan senyumannya yang belum berubah mendekatkan wajahnya. Sang gadis kecil menguasai telinganya, membisikkan kalimat yang tidak begitu jelas. "Kenapa dia ikut kemari, you fool? Kau ingin aku dibunuhnya ya?"

Menggelikan. Setidaknya itulah yang dipikirkan pria muda dengan tuxedo lengkap itu sesaat setelah si pirang madu yang lain itu berbisik tergesa. Tanpa bisa ditahan sang pria muda tertawa. Gadis kecil itu, Timothy Anne-Marie, tampak tak puas dengan reaksi sang pria muda. "Aku tidak bercanda, tahu! Lebih baik kau katakan pada Aunt Cathlene, tidak jadi pakai dia. Mereka-mereka disana sudah lebih dari cukup untuk berjalan denganku. Bisa-bisa taman ini banjir kelopak bunga," Timothy Anne-Marie melanjutkan tak sabar sambil menunjuk tiga gadis dengan hiasan bunga sesuai dengan nama mereka. Senyuman di bibir sang pria muda makin melebar. Tangannya yang tadi ditarik ke lutut kembali ia eluskan ke pipi gadis kecil itu. Timothy Anne-Marie memandanginya bingung. "Apa?"

"Memang itu yang kuharapkan, Timmy sayang. Taburan bunga musim semi yang memenuhi taman ini dengan warna-warni menunjukkan kalau kami berbahagia, bukan?" tanya sang pria muda balik sembari melemparkan pandangan ke celah tenda yang mengarah lurus ke jalanan kecil kosong yang dipagari oleh kursi-kursi berhias kain putih bersih. Bunga-bunga matahari kecil diletakkan di atas dudukannya. Baru beberapa orang yang mengisi kursi itu. Kebanyakan masih kosong karena memang waktunya belum tiba. Timothy Anne-Marie mengerling ke arah kristal biru laut kakaknya, mencoba mencari tahu apa yang menarik. Tapi untuk anak tujuh tahun seperti dirinya, tampaknya tak ada.

Pria muda itu melengos sebentar lalu kembali menatap Timothy Anne-Marie yang tampak menguap rasa kesalnya. Cengiran puas muncul di wajahnya yang bersih dari bulu-bulu halus yang biasa tumbuh di dagunya. Telapaknya berpindah ke kepala Timothy Anne-Marie, mengacak rambutnya perlahan. Gadis enam tahun nyaris tujuh itu ber-ahh kesal karenanya. "Jangan rambutku, Zie! Sudah disisir rapi ini!"

Sang pria muda berdiri, seolah tak menggubris ucapan Timothy Anne-Marie, berbalik ke arah seorang anak lelaki yang sibuk membetulkan dasinya. Senyuman khas seorang kakak terkembang sempurna. Ditariknya sebuah kursi dan diletakkannya di hadapan si anak lelaki, menghalangi pandangannya pada cermin. Si anak lelaki, Rainare, tertawa pelan sambil menonjok bahu sang pria muda. "Konnichi wa, Nozomu-San," pria muda itu menyapa sang bocah dengan nama tengahnya sambil terkekeh, masih mencoba menghalangi bocah itu berkaca. Keduanya terkekeh.

"Jangan panggil aku begitu. Kita di Finlandia, Bung. Dan minggirlah. Aku butuh bantuan cermin itu," Rainare berujar sambil menggeser tubuhnya. Sang pria muda dengan iseng mengikuti gerakannya. Sambil tertawa, Rainare mendorong tubuh ceking sang pria muda ke kanan, membuat lelaki dua puluh dua tahun itu ber-hei. "I've warn you," Rainare berujar sambil menarik-narik lagi dasinya ke atas, membuatnya tampak lebih rapi. Sang pria muda memerhatikan bocah itu bekerja dengan cekatan, membuat Rainare merasa sedikit risih. "Apa sih? Minggirlah cari sandwich sebelum kau tidak bisa makan lagi."

"Aku tak lapar, Bocah," sang pria muda berkoar sembari mengerling ke arah dua nyonya yang saling bercengkerama. Salah satunya menggunakan topi berhiaskan ekor merah yang menjulang tinggi. Wanita norak yang tak berubah. Rainare, tersenyum mahfum, ikut-ikutan mengerling.

"Sudah kubilang pada Dad untuk menghalangi Mum berpakaian terlalu mencolok. Tapi tampaknya gagal lagi, sori," seolah tahu, Rainare menyahut pelan. Sang pria muda balik menatap bocah berwajah Asia itu--satu-satunya anak yang menerima jejak kulit kuning dari ayah kandungnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Ah, ia akhirnya tahu apa persamaan paling kuat antara dirinya sendiri dengan bocah lelaki sembilan tahun di hadapannya. Mereka berdua sering menyunggingkan senyuman mahfum, seolah seluruh hal di sekitarnya patut dimaklumi. "Kau tidak gugup?"

"Aku? Gugup? Kau pasti bercanda," tawa ganti membahana dari sela bibir pria muda itu. Diikuti dengan jelas oleh Rainare kecil. Tapi cepat-cepat pria itu menyambung dengan tampang berubah seratus delapan puluh derajat, mencoba meniru aktor opera sabun di televisi. "Yeah, aku sedikit gugup. Bukan. Aku sangat gugup."

Mereka berdua tergelak, untuk sesaat.

"Aku tak tahu pasti rasanya bagaimana. Tapi kuharap kau bersabar."

Pria muda itu memandang Rainare tak percaya. Well, ia tak menyangka seorang bocah yang belum genap sepuluh tahun itu bisa mengatakan hal yang begitu dewasa. Pelan namun pasti, tangan besarnya berpindah lagi ke atas kepala sang bocah dan mengacaknya--agak kuat kali ini. Rambut coklat bocah itu tak akan begitu sulit ditata kembali. "Hei, kau kenapa sih?"

"Sial kau, Bocah. Kenapa malah kau yang jadi lebih dewasa? Sana kau saja yang menikah!"

"Hahaha. Bukan salahku menjadi dewasa sebelum waktunya. Selama masih bersama para gadis kekanakan itu, kupastikan aku akan selalu menjadi begini, Azrael."

_________

"Kau tak akan percaya aku punya manusia cebol yang berotak terlalu dewasa untuk anak seusianya sebagai sepupu."

Pria muda berusia dua puluh dua tahun itu, Azrael Saturnea Hazzelnuts, menatap lurus pemandangan di luar jendela mobil Royce hitam yang ia tumpangi. Tangan kanannya menopang di dagu, dengan siku tertancap di ambang jendela. Tangannya yang lain tergenggam erat pada tangan lain di sebelahnya. Warnanya lebih pucat, dengan kehangatan luar biasa. Kepalanya pening, dipenuhi dengan berbagai kalimat penolakan terhadap kenyataan itu. Oke, salahkan Rainare kenapa dia menunjukkan sisi dewasanya di depan Azrael--yang notabene selalu percaya dia gagal sebagai orang dewasa. Sepupu lelakinya yang beranjak remaja itu mau jadi apa kalau sudah benar-benar dewasa nanti?

"Apa mungkin dia mengidap pendewasaan dini?"

"Indigo maksudmu? Jangan bodoh. Itu kan tidak mungkin."

Wanita muda di sebelahnya menjawab singkat, membuat Azrael menolehkan kepalanya, memandangi wajah porselen yang memeta di sana. Alis pria muda itu naik sebelah. "Yah, apalah itu. Kenapa tidak mungkin, hm?"

"Kau tahu, indigo itu hanya penglihatan akan aura. Belum pasti apakah aura itu benar-benar dapat dipercaya."

"Oke, oke. Terserah apa katamu, Nona Healer."

"Bukan begitu...."

"Iya aku mengerti. Sudah, tidak masalah kok itu."

Dua insan yang baru saja disatukan dalam ikatan suci itu terdiam. Sesaat genggaman mereka terasa sedikit basah. Keringat.

"Hei Tuan, kau yakin Timothy benar-benar sudah...?"

"Apa?"

"Kau tahu... setuju?"

Azrael menoleh lagi, menangkap wajah yang sedikit banyak menunjukkan keraguan. Pria muda itu melemparkan senyuman tipis. Diraihnya tangan mungil yang masih tenggelam dalam genggamannya, mengecupnya singkat. Semburat kemerahan muncul di pipi sang wanita muda.

"Kau masih ragu, sementara kita sudah berada di dalam sini?"

"Sedikit...."

Kali ini sang pria muda mencondongkan tubuh jangkungnya, mendekatkan wajahnya ke wajah wanita muda itu. Mengecup bibir tipisnya singkat. "Tak usah dipikirkan. Dia pasti bahagia kalau aku--kita bahagia. Oke Rore?"

_________

"Selesai? Sudah selesai? Itu saja?"

"Memangnya kau mau apa lagi, Anne-Marie? Zie menggendong Aurora ke mobilnya yang diikat kaleng-kaleng? Itu akan dilakukan di rumah baru mereka, tahu."

"Tidak sih. Aku justru lega penderitaan ini begitu cepat berakhir."

"Penderitaan? Maksudmu? Tidakkah kau lihat kakakmu tampak begitu bahagia?"

"Dia iya bahagia. Dia tidak memikirkan perasaanku sama sekali."

"Jangan bilang kau menderita brother-complex, Anne-Marie Dear."

"Aku? Brother-complex? Bah...."

"Hm?"

"Uhh, oke. Aku memang brother-complex. Kenapa memangnya?"

Telapak mungil berkulit kuning itu menelusup tiap jemari milik gadis kecil di sebelahnya, lalu menggenggamnya erat-erat tanpa memindahkan matanya dari orang-orang yang kini sibuk melambai-lambai pada mobil yang barusan tadi mengeluarkan deru gas, lalu meluncur pergi meninggalkan acara. Timothy Anne-Marie memandang wajah porselen yang terbingkai aroma Asia itu dari samping, tak mengerti maksud perlakuan bocah lelaki itu.

"Rain?"

"Tak apa. Aku juga sister-complex. Satu sama kan?"

((OOC: Credit to potongan RC with Myu.))

_____________

Meh, pendek dan jelek. Dan intinya belum ada *shot*. Mungkin suatu hari nanti gue edit. Baidewei, happy birthday Dear Azrael. Samaan ama bokap beda tahun aja dia. :D Cepet nikah ama Rore yak *mabur sebelum ditendang*.

Thursday, June 4, 2009

Sakit

Teruntuk manusia-manusia yang memiliki rasa
Titip salamku untuk hati yang luka
Beri amunisiku pada senapan duka
Tembak dadaku agar semua terlupa

Kepada dewa-dewi yang memberi hati
Tulis pesanku pada kasih yang mati
Tarik busurku hingga ke titik hari
Agar sampai hasrat hingga nafasku berhenti

Tak usah bicara duka, Sobat
Kita alami apa yang disebut kualat
Batin yang kita sirami dengan rasa nikmat
Tak lebih dari tipu daya, bangsat

Hati hampa?
Pecah belah?
Ya

Mau mangkir lagi
Dari janji-janji
Yang kita sepakati
Sejak jauh hari?

Oh, ya ya
Kau tahu kekuatanku tiada tara
Aku bahkan tak menitikkan air mata
Karena kupikir, untuk apa?

Cinta?

Bah

Brengseknya
Tak seharusnya aku terlena
Mimpi tak kan gugat realita
Dan aku sudah terlupa

Tadinya

Silakan kau percayai
Kuyakini hidup hanya sekali
Jadi ingatlah pada kalimat ini
AKU TAK PEDULI

Dan apa aku terluka?
Ya, aku terluka
Tapi aku tak apa
Yang sepertimu banyak di dunia

Kau akan menyesal? Mungkin
Aku tak harap dendam bermain
Lagipula, apa yang bisa kujalin
Dari benang tipis benci yang tak terpilin

Biarlah hidup ini kita nikmati
Kau punya sendiri,
Aku juga memiliki
Impas kan, kali ini?

Dan ini akhirnya kan?
Ya, kupastikan

(For you, Arrow, give your true love to the bow, as I always want to know. I. DON'T. Miss. You.)