Thursday, August 2, 2012

InsyaAllah

"Karena Allah Maha-Mengetahui mana yang paling baik untuk umat-Nya."

Wednesday, August 1, 2012

Teman Curhat Paling Baik Yang Pernah Ada

Assalamu'alaikum.

Kamu pernah curhat? Kalau iya, ke siapa? Teman, sahabat, pacar, atau orang tua? Ya, mereka mungkin orang-orang yang paling sering kamu tumpahi masalah dan keluhanmu. Juga yang sering keciptratan bahagia dan rasa senangmu. Tapi kamu tahu tidak, ada yang lebih, jauh lebih suka mendengarkanmu membicarakan segala keluh-kesah dan kebahagiaanmu ketimbang mereka?

Ya benar. Jawabannya adalah Allah Subhanahuwata'ala.

Kalau kamu curhat dengan temanmu, apa jawaban yang kamu dapat dari mereka? Mungkin bentuk-bentuknya adalah semacam consoling, tepukan di pundakmu diiringi kata-kata 'sabar ya,' saat kamu sedih atau 'aku turut senang,' saat kamu berbahagia.

Curhat dengan sahabat dan pacar, mungkin akan terasa lebih intimate dengan bumbu rahasia yang setingkat lebih tinggi dari curhat dengan teman. Yah, mereka orang yang spesial untukmu dan selalu memberimu support kapanpun kamu membutuhkan. Dan yang kamu bisa dapat dari mereka tidak hanya tepukan dan kata-kata manis pertanda mendengar, tapi sebuah pelukan hangat dan tips-tips agar kamu menjadi lebih baik.

Sementara curhat ke orang tua, ini jauh lebih dalam lagi. Kamu bisa mengatakan apa saja dengan konsekuensi membuat hati mereka bahagia atau sebaliknya, menyakiti mereka. Karena kamu selamanya di mata mereka adalah anak mereka, meski usiamu sudah tidak pantas disebut anak-anak lagi. Mereka yang dititipi oleh Allah SWT atasmu. Memiliki tanggung jawab membesarkanmu. Curhat ke mereka adalah satu jalan menenangkan, karena kamu akan dimandikan dengan segala wejangan kebaikan karena mereka mengerti kamu dan mungkin pernah mengalami hal yang sama, dulu sekali, saat seusiamu. Lalu mereka akan memelukmu, memberikanmu ketenangan, mencium keningmu, lalu membiarkanmu melangkah lagi sambil menekankan pada diri mereka bahwa kamu sudah cukup dewasa untuk membuat pilihan atas kehidupan yang kamu jalani.

Tapi curhat pada Allah SWT, ceritanya lain lagi.

Jujur saja aku bukanlah orang yang dekat dengan-Nya. Aku menjauhi-Nya, melanggar larangan-Nya, tidak mematuhi perintah-Nya, melalaikan kewajiban-kewajiban yang seharusnya kujalankan atas nama-Nya. Akulah yang menjauh, dan akulah yang tidak berkeinginan mendekat pada-Nya. Aku mungkin berpenampilan tertutup, dengan hijab menutupi helaian rambutku. Tapi aku bukanlah orang yang begitu saja suci. Pakaianku terkadang masih tidak sempurna menutup aurat. Masih membentuk siluet tubuhku. Yang ini mungkin agak susah kuubah, tapi aku yakin pasti bisa kuperbaiki suatu hari nanti. Begitu juga dengan ahlak yang gagal aku bangun sebelum hari ini.

Aku tidak begitu saja menjadi bersih. Tidak begitu saja dosaku diampuni. Tapi aku tahu inilah saatnya aku berusaha lagi, mendekat pada-Nya sekali lagi, menjadi hamba-Nya selagi kesempatan masih Ia beri. Maka dengan segala kesesakan di ulu hatiku, aku menghadap-Nya. Dan pada ayat pertama Al-Fatihah yang kubaca, air mataku membanjir tanpa kusadari. Kutarik nafasku pelan, menenangkan diri. Saat itulah aku memahami makna 'Alhamdulillahirrobbil aalamin'. Aku mensyukuri dengan sungguh-sungguh segala yang Ia berikan dalam hidupku, dan menjanjikan untuk meniatkan segala yang kulakukan hanya untuk-Nya.

Selepas tahiyat akhir dan salam, aku termenung. Mencoba menenangkan diriku setenang-tenangnya, mengosongkan pikiranku dan menjernihkan nuraniku, baru aku berani menengadahkan tangan. Mensyukuri semua nikmat yang diberikan dan membuka semua uneg-uneg yang memberatkan. Karena Ia Maha-Mendengar, tak sepatahpun kata kuucapkan besar-besar. Tak perlu orang lain tahu isi pembicaraanku dengan-Nya. Lalu topik demi topik mengalir, beriringan dengan tetes demi tetes air yang menghangat di pipi.

Aku akhirnya berbicara lagi pada-Nya.

Dzat yang mengindahkan kehidupanku dengan segala kuasa dan cobaan-Nya. Yang dengan begitu elegan mengingatkanku untuk menemui-Nya, berbicara pada-Nya, meminta ampunan serta petunjuk-Nya. Aku diam, Ia juga tak bersuara. Tapi aku tahu kami heboh jauh di dalam lubuk hatiku. Ruangan yang hening sedemikian kontrasnya dengan segala kata-kata yang beruntun keluar di dalam pikiranku. Ia Maha-Mendengar, Maha-Tahu. Ia pasti mengerti maksudku, meski mungkin kalimat yang kugunakan tidak sesempurna penyair abad pertengahan. Aku tahu Ia tak butuh itu. Ia hanya ingin aku bicara pada-Nya, menemui-Nya setelah absen sekian lama.

Sungguh Allah SWT membuatku begitu tenang, begitu ringan, begitu bahagia dan lega. Ia seolah mengingatkanku bahwa aku tak akan pernah sendirian. Ia selalu ada untuk mendengarkanku berkeluh kesah, meminta rahmat serta ampunan-Nya. Ia masih di sana kapanpun aku ingin curhat pada-Nya. Tidak pernah temanku, sahabatku, kekasihku, bahkan orang tuaku, menenangkanku hingga jauh ke lubuk hati. Hingga tubuhku terasa seringan kapas. Mungkin kamu mengira kelegaanku datang karena aku mengeluarkannya lewat tangisan. Tidak. Tangisan itu keluar justru karena aku membicarakan seluruh pemikiranku pada-Nya. Tangisan itu keluar begitu saja tanpa bisa kutahan. Dan memang tidak perlu kutahan, mengingat hanya ada aku dan Ia yang tengah mendengarkanku.

Subhanallah.

Allah sungguh Maha-Besar. Allahuakbar. Sesungguhnya Ia adalah tempat bercerita paling baik yang pernah ada. Rugilah kamu bila tidak pernah memanfaatkan waktu habis sholatmu untuk berlama-lama bercerita pada-Nya. Meminta ampunan dan petunjuk-Nya. Berterima kasih pada-Nya. Kamu mungkin berdoa setiap waktu. Ya, Ia mendengarmu setiap waktu. Tapi sungguh sesaat setelah kamu melaksanakan kewajiban sholatmu, menyebut asma-Nya dan bertasbih pada-Nya, itulah saat terbaik untuk bicara pada-Nya. Karena saat itu kamu akan merasa memiliki-Nya, sebagaimana Ia memilikimu. Saat itu kamu akan merasa Ia mengerti dirimu luar dalam. Ia tahu kamu, masa lalumu, juga masa depanmu. Ia tahu lahirmu, hidupmu, juga matimu. Ia-lah yang paling mengerti dirimu, paling, paling mengerti dirimu.

Sungguh aku menyarankan, wahai sahabat-sahabatku yang telah baik meluangkan sedikit waktu untuk membaca tulisanku. Menghadaplah pada-Nya. Bicaralah pada-Nya. Sungguh Ia Maha-Pengasih lagi Maha-Penyayang. Maha-Memberi dan Maha-Mengetahui. Yakinlah Ia pasti memberimu jawaban. Entah itu 'ya' entah itu 'tidak sekarang' atau 'belum', Ia pasti akan memberimu jawaban terbaik. Ia akan memberimu apa yang sepantasnya kau dapat, kau pilih, dan kau jalani. Jadi, sahabat-sahabatku yang baik,

Sudahkah kau curhat pada Allah Subhanahuwata'ala hari ini? Ia pasti tengah menunggumu dan siap menyambutmu.

Wassalamu'alaikum.

Tuesday, July 24, 2012

Been a While

I'm in shock.

No, it's not that simple to say but, still. I'm in shock. Like shock, shock. It's already Ramadhan and it's my 5th day fasting. 25 to go. But no, this post won't have anything related to this holy month. It's about me, and the shock that still frightened me.

I feel like I need to tightened my grab.

I know that it'll be pretty risky since there's no one who wants to be grabbed tightly. You see, I'm the type who actually don't really care. But things, again, are not as simple as that. This is my first encounter of such kind of fanatism--something I never know was really exist. May be because all the relationships I involved in are with some average guys. Okay sorry to say but, hey, you guys really are just average. #slapped

Now yes, you can feel the heat already. It's indeed about my current relationship. And since people aren't really bothered to read my blog, I'll just post it here and hopefully you guys would just think that this is just another ordinary post--except it's written in (a-gramatically-poor) English.

I'd like to openly state that I feel a little bit insecure.

Since I'm not pretty, I don't have a good grade, I'm just an ordinary girl trapped in a petite yet not so good looking frame. Those achievements I made are completely sealed in my past, and people hate their past. So now I really am just a super, duper, really just another girl who (finally) has a little touch of luck.

I really want to be something, so that I'll not just be a burden who depends on luck. But my lack of movements are inversely match with my desires. I even rarely complete those short stories I made. I love to write but I hate to end it. It's somehow being another big burden for me since I only love the start and have no intention to make an end. And yes, it's not good, since there must always be an end.

I want to be something, so that I'll be, at least, a suited partner who is worth to have.

Since, well, this is the first time I have such a great figure as a partner. He can do anything and lacks of flaw. Things usually only I could do between me and my partner now are reversed. And that's just how things started to get complicated. Since he's so good at almost everything he does, even I do. I really want to set my mind to be more positive, since those are things I should be proud of. But still, may be because I always set myself as the alpha who can do anything for both of us to make things easier and well balanced. Now that I don't need to do that anymore, come to think of it, I feel a little bit empty and bitter.

I usually depend on my partners while silently make them depend on me. But now, I feel like he doesn't really need me. He can do anything that I can, so he doesn't really need any help. That's just how I ended up thinking that I might just be a burden to him. All I can do averagely are his specialities, so he doesn't need any help. Or is it because I just want to be involved with things he does? May be, but I know exactly that I might just be a real burden to him if I do so.

And the thing is, I recently found a Tumblr dedicated to my current partner. And that's how I started to feel more and more insecure, since he actually has that kind of fan (and didn't realize it until I actually told him). It's something to be proud of but, you know, drama~ I feel more and more insecure by days. Really, guys, what should I do?

I started to lose my confidence.

Tuesday, May 22, 2012

Saturday, April 7, 2012

Aaa, That's Why

"Kan kita rusuk yang ilang, jadinya pas gitu rasanya kalo dipeluk." - Kia Unnie