Hal yang sama berlaku dengan Modern Dance, dimana gue bergerak kagak mikir2 dan asal ikutin nada. Pas temen bilang 'tuh bagus! Ajarin!' eh gue lupa. *ingatan kelas X terulang kembali* So, well. Inilah puisinya. Dengan judul yang cukup ga jelas, hear me moo.
Aku terpuruk
Terperosok dalam lubang kunci
Kecil, gelap, dalam
Menanti mantramu bukakan pintu
Apakah angin itu
Akan kembali
Beri nafas baru bagi
Onggokan kecil raga ini?
Aku menjerit
Di tengah ironi yang terikat alam mimpi
Di tengah tirani langit senja yang kelabu
Oleh mendung badai hujan
Aku teriak
Di antara belantara kesunyian yang ribut
Di antara dua orang yang saling memaki
Dalam diam
Aku benci
Satu kata desisi telingaku
Dan aku hanya bisa bertanya
Apa?
Apa yang bisa kulakukan?
Satu detik itu berhenti berdetak
Dan seringai kejam melebar
Apakah kait jendela hati ini berkarat
Atau engselnya macet, entah
Tapi isinya tak terjamah
Pemantikku mati
Habis isi, padam api
Semangatku luntur
Luluh lantah dalam nurani
Siapa aku?
Siapa aku?
Siapa AKU?
Adakah yang peduli?
__________
Gue ngebacanya dari luar kelas. Awalnya gue cuma mau pipis doang dan menolak tudingan temen gue bahwa itu cuma alasan buat gue baca puisi. Tapi ternyata keterusan juga, akhirnya gue berpuisi. Gue ketok pintu tiga kali dengan irama 'tok... tok... tok....' dan sempet bikin beberapa orang ngeri, takut gue tiba-tiba kesurupan lagi (baca postingan gue di draft bulan November). Terus gue masuk dengan pandangan nanar, baca puisi dengan mata yang kosong dan gak sadar air mata netes.
Pendapat Ibu Nuraini selaku guru Bahasa Indonesia yang nguji gue?
'Ya. Bagus sekali. Ekspresinya kena sekali. Sayang endingnya itu ya, terlalu....'
Dan malulah gue, karena endingnya itu gue gini.
'Adakah yang peduli...?'
*anak sekelas memandang gue iba* *dua detik kemudian....*
'SELESAI!' Gue ngejerit kayak anak tuyul terus langsung ngesot (ngesot beneran) ke tempat gue semula. Nyah, asoi banget Dhis, ending lu yang bego. --a
No comments:
Post a Comment